Friday, December 14, 2007

Juara

Juara...sebuah kata yang cukup sakral bagi saya di masa kecil. Di benak saya ketika mendengar kata-kata itu adalah seseorang yang telah berhasil memperoleh hasil gemilang dan dieluk-elukkan orang banyak.

Aku sangat bangga sekali , setiap kali ketika di sekolah aku mendapat predikat juara. Baik juara kelas, atau ketika terpilih menjadi siswa teladan. Aku juga pernah menjadi juara kiroat di bulan Ramadhan, saat aku duduk di kelas 4 SD.Mattiropole.

Ada yang lucu saat aku mau ikut lomba kiroat. Ketika malam Ramadhan di tahun 1986 itu aku berangkat sholat Tarwih bersama dengan teman-teman dan tetangga. Sesampai di Mesjid Raya "Darussalam", kami langsung mengikuti sholat Tarwih. selesai sholat witir, tiba-tiba pengurus mesjid mengumumkan akan diadakan lomba membaca AlQor'an tingkat SD se-kabupaten Soppeng. Aku yang nggak punya persiapan tiba-tiba ditunjuk untuk mewakili sekolah. Tapi aku ikut ajha, dengan niat ibadah.

Tiga hari kemudian , saat sedang belajar di kelas, aku dipanggil kepala sekolah untuk menghadap. Aku kaget , ada apa kiranya tiba-tiba saya dipanggil . Sesampai di kantor kepala sekolah , aku disodori bingkisan bertuliskan Juara ke-3 Lomba membaca AlQur'an tingkat SD se-kabupaten Soppeng.

Wah rupanya aku juara tiga lomba kiroat, padahal aku nggak punya persiapan sama sekali waktu ikut lomba itu.

Sunday, August 5, 2007

Bersama teman-teman


Berkat bimbingan dan didikan dari kedua orang tua, membuat saya selalu mendapatkan berbagai prestasi di sekolah. Bahkan dianobatkan sebagai murid teladan di SD negeri nomor 5 Mattiropole. Aku juga aktif mengikuti berbagai kegiatan dan kejuaraan sekolah. Tapi jangan tanya aku dengan bidang olah raga, aku tidak memiliki prestasi dalam bidang yang satu ini. Satu-satunya olah raga yang saya bisa hanyalah Bului tangkis, itu pun sekedar bisa. he he he.

Aku pernah juara karnaval untuk pakaian adat. Di Soppeng, setiap perayaan Kemerdekaan, selalu diadakan lomba karnaval yang diikuti oleh murid-murid Sekolah Dasar di kabupaten Soppeng.

Sekolah

Tahun 1983, saya masuk SD,Pada usia 7 tahun.Di sekolah itu saya melihat banyak teman-teman yang terlebih dahulu sekolah di Taman kanak-kanak, sebelum mereka masuk SD. Saya sempat merasa minder,dan berfikir mungkin sayalah yang paling bodoh diantara mereka.Apalagi saya tidak pernah masuk TK sebelum masuk SD.

Namun meskipun mereka pernah masuk TK, ternyata kebanyakan dari mereka belum bisa membaca dan menulis. Sementara saya sendiri sebelum masuk SD, sudah diajari membaca dan menulis. Bapak sering mengajari membaca dan mengenal istilah-istilah dalam bahasa Indonesia. Oh iya, pengetahuan saya mengenai istilah bahasa Indonesia pada saat itu terbilang sangat minim, apalagi bahasa yang kami gunakan sehari-hari adalah bahasa bugis.

Disamping mengajari mengenai pelajaran sekolah, serta pengetahuan umum, Bapak juga banyak memberikan nasehat-nasehat tentang banyak hal, seperti tata krama, sopan santun dalam bergaul, bagaimana menghadapi teman sebaya, bagaimana hormat kepada orang tua, tidak ketinggalan pula pelajaran mengenai mengaji dan tata cara sholat yang benar.
Khusus mengenai yang terakhir ini, Bapak terbilang sangat serius dan tegas.Bapak menekankan bahwa setiap anak-anaknya harus bisa membaca AlQur'an. Sehingga di setiap kesempatan saya diharuskan membawa dan membaca AlQur'an, baik dalam pengawasan mama-bapak maupun tanpa pengawasan keduanya.
Pernah suatu ketika Bapak pulang dari bepergian, langsung menunaikan sholat ashar, selesai membaca doa, bapak langsung memanggil saya dan meminta membuka AlQur'an,juz I surat Al Baqoroh. Bapak langsung menyuruh saya membacanya, namun saya hanya diam karena belum bisa membacanya.
Setelah berkali-kali Bapak menyuruh saya membaca, namun tetap diam. bapak mulai terlihat sedikit emosi. Meskipun sudah memberi contoh, namun saya masih kesulitan mengikuti bacaan yang bapak contohkan itu.
Akhirnya bapak benar-benar emosi, dia lalu menarik bibir atas saya, mencubit selaput yang terdapat di gigi atas saya hingga putus dan mengeluarkan darah yang cukup banyak.
Saya menangis, ada perasaan sakit bercampur sedih, heran mengapa bapak sampai begitu marah ke saya.Mama langsung memanggil saya membujuk agar segera diam, seraya membalur luka saya dengan obat "tetera".

Sementara saya melihat, bapak terlihat menyesal dengan kejadian itu. Mungkin saja waktu itu bapak sedang ada masalah di luar rumah. dari kejadian itu,saya bertekat bahwa saya mesti bisa membaca AlQur'an, mesti bisa tidak boleh tidak.

Sejak saat itu, mama mengambil alih secara penuh pembinaan untuk saya. Mungkin Bapak menyesal dengan kejadian itu. Bapak kemudian membelikan sebuah AlQur'an kecil (Juz Amma) dan sebuah papan tulis,untuk mendukung pembelajaran di rumah.

Lama kelamaan, sayapun akhirnya bisa membaca AlQur'an, bahkan sebelum mengkhatamkan Juz Amma, mama sudah memindahkan saya ke AlQur'an besar.

Tahun 1981


Tidak begitu banyak kejadian yang dapat saya ingat di tahun ini.Yang jelas, tidak lama setelah kepergian Ma'Ace, Rumah yang ditempati Ma'Ace pun dibongkar. Lambat laun keberadaan Ma'Ace pun mulai terlupakan sedikit demi sedikit. selanjutnya lokasi bekas rumah Ma'Ace di buat kebun oleh Bapak. Bapak menanam beberapa jenis tanaman, ketela, ubi rambat, labu pepaya dan pisang. Boleh dikatakan, saya sangat menikmati masa kecil saya. Meskipun saat itu saya masih sendiri, belum punya adik. setelah berumur 5 tahun,barulah punya adik laki-laki,Nashruddin namanya.

Seorang kakek yang tinggal bertetangga dengan saya( di belakang rumah), biasa di panggil Ambo Galung. Sering menyapa saya ketika sedang bermain sendirian.
Ambo Galung ini sebenarnya masih ada hubungan kekerabatan dengan kami, namun sudah sangat jauh. Meskipun demikian dia sangat akrab dan sering datang berkunjung ke rumah, terutama bila bapak sedang berada di rumah.Saya masih dapat mengingat ciri khas dari Ambo Galung, jika dia sedang berbincang-bincang dengan orang, selalu diselingi dengan suara mendehem , seakan-akan suaranya menyetujui perkataan lawan bicaranya. Dia memanggil Bapak dengan "Pak Guru". Setiap sore dia selalu ke sawah mencari rumput untuk makanan kuda. Kadang-kadang pula kami bertemu di jalan, saat sore hari mama mengajak saya ke sungai untuk mencuci dan mengambil air, Ambo Galung juga pulang dari sawah sambil menjunjung karung berisi rumput basah di kepalanya sambil tangan kanannya memegang sabit.

Saat itu saya telah berumur lima tahun, dan saya juga sudah memiliki adik laki-laki Nashruddin. Kelahiran adik laki-laki saya ini, sekitar dua bulan sebelum bapak membangun rumah. rumah yang bapak bangun itu adalah hasil pengumpulan bahan bangunan yang dilakukan secara bertahap dan dalam waktu yang cukup lama. Saya sering melihat Bapak menyewa orang-orang untuk mengangkut Balok kayu dan papan dari gunung ke rumah dengan menggunakan kuda. setelah bahan rumah itu terkumpul, barulah pembangunan rumah di Soppeng itu mulai dilakukan.

Rumah yang dibangun Bapak itu,adalah sebuah rumah bugis dari kayu. Bapak membangun rumah itu dibantu oleh LaSila(menantu nya IndoDua). LaSila sekaligus sebagai tukang kayu yang menukangi pembangunan rumah kami di Soppeng itu.Saya melihat semangat gotong royong warga saat itu amat besar, terlihat ketika rumah kami akan didirikan, segenap tetangga berdatangan untuk membantu. Pada saat itu, saya melihat orang beramai-ramai mengangkat rumah kami yang pertama, untuk dipindahkan ke atas bukit, tempat dimana rumah Ma'Ace dulu berada.

Orang-orang terdekat

Selain mama dan bapak, saya juga ditemani oleh seorang nenek (dari bapak). Saya akrab memanggilnya Indo, meski nama sebenarnya Imenre. Ia tidak mau dipanggil nene'. Dia lebih senang dipanggil Indo (=meskipun Indo, sebenarnya bermakna mama). Indo ini sangat akrab dengan saya. diantara semua cucu-cucunya, sayalah yang cucu yang paling dia sayang. terkadang bila mama atau bapak menghukum saya, karena satu kesalahan, indo memanggil dan membujuk saya supaya diam, lalu Indo menasihati saya serta memberitahukan kesalahan saya, dan sekaligus menasehati agar tidak mengulangi kesalahan itu. Indo juga senang membuat bakul nasi, menganyam tikar dan beraneka ragam barang anyaman dari daun lontar. Saya sering merengek minta dibuatkan aneka macam mainan, seperti baling-baling dan boneka.Saya paling sering tidur bersama dengan Indo. Sebenarnya saya juga punya kakek namanya LaBise (kakek dari bapak), namun karena kakek itu seudah meninggal sejak bapak masih kecil, sehingga saya tidak sempat bertemu dengan kakek saya itu.
Di samping rumah kami di soppeng, ada juga sebuah rumah yang ditempati oleh "Wa'Mariona". Wa'mariona adalah tante (kakak sulungnya Bapak). tapi saya lebih akrab memanggilnya dengan Ma'Ace'. Ace ini diambil dari kata Yase' yang artinya atas, berhubung letak rumahnya berada di atas bukit kecil disamping rumah kami, sehingga saya memanggilnya Ma'ace yang artinya tante yang rumahnya berada di atas rumah kami...he he he ....unik yah...?!.

Ma'Ace juga amat dekat dengan saya.Saking dekatnya, terkadang saya tidak mau makan kalau tidak disuapi sama Ma'Ace. Atau kalau saya menyadari telah membuat kesalahan,saya lari ke rumah Ma'ace untuk sembunyi dari cubitannya mama atau pukulan rotannya bapak. Biasanya Ma'Ace menyuruh saya pura-pura tidur, kalau bapak datang mencari saya.

Ma'Ace juga adalah guru ngaji, dia memiliki banyak murid ngaji, dari anak-anak tetangga. Pada murid-muridnya, Ma'Ace terlihat keras, suka membentak bila mereka salah membaca alQur'an atau kalau mereka santai dalam belajar. Terkadang saya ngeri naik ke rumahnya, bila dia sedang menghadapi murid-muridnya. Saya biasa berada di rumah Ma'Ace seharian, tidak pulang-pulang ke rumah. Biasanya mama datang menjemput saya bila sudah waktunya mandi sore.
Ma'Ace juga pandai menina bobokan saya. Ada lagu nina bobo yang masih sangat saya ingat samar-samar. lagu yang mengandung doa. yang syairnya antara lain :
"Iyabe Laleeee..Aloppoko masitta..Muluttu mallongi-longi."
yang artinya:"Iyabee lalee..cepatlah besar, lalu terbanglah melayang-layang."

Seingat saya, Ma'Ace memiliki anak gadis namanya Nure'. Dia adalah saudara sepupu saya. Saat itu Kak Nur sudah beranjak dewasa, saya tidak dapat lagi mengingat dengan jelas wajah-wajah mereka, karena kebersamaan saya dengan mereka berlangsung sangat singkat sekali. Entah kenapa,saya tidak faham alasan apa yang menyebabkan mereka dengan tiba-tiba pada suatu hari mereka pergi meninggalkan tempat itu. Kepergian Ma'Ace dengan kak Nur terjadi beberapa hari setelah Kak Nure dilamar oleh seorang lelaki yang bernama La Bakeri, dia juga masih kerabat kami ( keponakannya Bapak). Mereka pergi karena sesuatu masalah besar yang sampai kini, saya tidak mengerti. Aapalagi pada saat itu saya masih sangat kecil untuk mengerti persoalan orang dewasa ( umur saya pada saat itu, baru tiga tahun).

Meskipun saya sering juga bertanya ke Bapak atau ke mama, disaat rindu kepada tante dan kak Nure.
"Pak..Kemana Ma'Ace dan kak Nure pergi..? kenapa sampai lama mereka tidak kembali..?

Menurut Bapak, Ma'Ace dan Kak Nure pindah rumah ke Lapajung, ke rumah tempat LaBakeri tinggal. Namun tatkala suatu ketika kami berkunjung ke Lapajung, saya kembali bertanya lagi.
"Kemana Kak Nure dan Ma'ace..?
"mereka ke sungai, mencuci pakaian." Jawab Bapak saat itu.
Tapi lama-kelamaan, saya mulai curiga kok setiap ke Lapajung, Ma'Ace dan kak Nure selalu ke sungai. Saya mulai berfikir, pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Dan sampai akhirnya saya mengetahui bahwa ternyata Ma'Ace bersama keluarganya telah pergi jauh, yakni ke suatu daerah di Soni, Sulawesi-utara. Sebegitu parah kah masalah keluarga yang telah terjadi sehingga harus di bawa pergi sejauh itu? Suatu tanda tanya besar yang sampai saat ini belum terjawab.

Wednesday, May 16, 2007

Masa Kecil


Selama berlibur di Kabupaten Soppeng itu, teringat kembali semua kenangan masa kecil semasa aku belum sekolah. Aku ingat saat pagi hari, saya sering duduk di tangga rumah menyaksikan anak-anak sekolah berbondong-bondong lewat di depan rumah, dengan memakai seragam sekolah. Suara mereka riuh sekali dengan riang mereka kadang-kadang bernyanyi lagu "Bendera Merah Putih", sampai-sampai aku jadi hafal dengan lagu itu.

Tatkala aku melihat mereka, kadang-kadang saya bertanya pada Mama,"Kapan dong saya sekolah seperti mereka ?"
Mama bilang,"Nanti kalau kamu sudah besar."
"Tapi sekarang khan saya sudah besar,Ma."
"Belum," kata Mama "kamu belum bisa sekolah, kalau belum bisa memegang telinga kirimu dengan tangan kanan, lewat di atas kepala. Kalau sudah bisa, baru boleh sekolah."
"Tapi kapan itu,Ma?" tanya ku lagi.
"Yah, tidak lama lagi, sabar saja." kata Mama.

Lalu Mama menjahitkan aku selembar bendera dengan dua warna, "Merah dan putih". kemudian aku diajari menyanyikan lagu "Bendera Merah Putih." Dan dengan cepat aku bisa menghafal lagu itu dengan baik.

Setiap hari aku bermain dengan bendera buatan Mama. Aku ikatkan pada sebatang ranting bambu, lalu aku tancapkan ke tanah dan berdiri tegak di sampin bendera itu sambil menyanyikan lagu Bendera Merah Putih. Selain itu , mama juga mengajari aku lagu yang lain, seperti halo-halo Bandung, Garuda Pancasila, Dari Sabang sampai Merauke. Bapak juga menjari saya lagu Satu Nusa Satu Bangsa, Pelangi-pelangi, dll. Bapak juga mengajari saya berhitung dan membaca, sehingga sebelum aku masuk sekolah dasar, aku sudah bisa menulis, membaca dan berhitung.

Saat itu Bapak tidak lagi mengajar sebagai honorer di madrasah, tetapi dia hanya memusatkan pikiran pada kegiatan berdagangnya, sambil menunggu terbitnya SK pengangkatannya sebagai guru. Bila dulu, Mama sering ikut menemani Bapak berdagang, saat itu saya melihat Bapak sering berangkat sendiri. Mama lebih memiliki banyak waktu bersama saya di rumah.

Sunday, May 13, 2007

Emosi

Seperti saya katakan pada tulisanku yang lalu, bahwa orang tua begitu sayang kepadaku, perhatian mereka teramat besar kepada saya, bahkan terkesan memanjakan.Meskipun demikian saya tidak pernah manja. Saya menyadari keadaan ekonomi keluarga saya. Kedua orang tua saya memulai usaha dagangnya bukan dengan modal uang, tetapi hanya bermodalkan kejujuran. Bapak menjualkan barang-barang pemilik toko, setelah barang-barang tersebut laku, barulah kemudian dihitung dan diadakan pembagian keuntungan.

Begitulah orang tua saya memulai hidupnya, tidak jarang saya melihat Bapak mengajar secara honorer di sekolah-sekolah, baik swasta maupun sekolah negeri.
Saya sering dibawa serta ke sekolah tempatnya mengajar. Saat itu umur saya baru sekitar 3 tahun. Oleh Bapak, saya diajak ke salah satu madrasah di Salotungo,tempat Bapak mengajar, sebagaimana biasa murid-murid Bapak yang "cewe" bergantian dan berebutan mengajak saya main kesana-kemari. Ada yang membelikan permen, es lilin, dan macam-macam jajanan sekolah. Padahal Bapak sangat melarang saya memakan jajanan, apalagi saya sangat mudah sakit.
Namun karena diberi, akhirnya saya memakan es lilin pemberian mereka, tentunya dengan sembunyi-sembunyi. Ketika tiba-tiba Bapak melihat saya, es itupun lalu saya buang. Anak-anak murid Bapak kaget, mereka menyangka kalau es itu ada apa-apanya. Mereka memang tidak tahu kalau Bapak melarang saya meminum es dan memakan permen. Waktu itu saya seorang anak yang benar-benar patuh pada orang tua dan takut sekali bila melihat orang tua saya marah.
Mereka berdua adalah segalanya buat saya, tumpuan hidup saya, dan idola serta figur yang saya kagumi.

Bapak tidak henti-hentinya berusaha, tak kenal lelah dan putus asa, dia selalu memiliki optimisme dan semangat, itu pulalah yang membuat saya untuk selalu bersikap optimis dalam menjalani hidup.

Lambat laun kehidupan ekonomi keluarga saya mengalami perkembangan, Bapak lalu mambuka stand di pasar-pasar, meskipun masih sering berdagang keliling.
Kadang-kadang pula saya melihat Bapak berangkat ke Ujung-Pandang (Makassar) untuk mengurus sesuatu urusan yang saat itu, aku belum tahu urusan apa. Bapak tidak henti-hentinya berusaha, tak kenal lelah dan putus asa, dia selalu memiliki optimisme dan semangat, itu pulalah yang membuat saya untuk selalu bersikap optimis dalam menjalani hidup. Dengan usaha Bapak yang tak kenal lelah itulah akhirnya Bapak berhasil terangkat menjadi guru (pegawai negeri) dan tinggal menetap di ibukota provinsi sulawesi-selatan, Makassar.

Bapak sering bercerita pada saya, Kesuksesan dicapai dengan kesulitan-kesulitan, dan tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Begitu juga kesuksesan yang dicapai oleh Bapak tidak lepas daripada perjuangan, pengorbanan dan kesulitan-kesulitan.

Saya sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak dan Mama, mereka selalu mengajarkan kemandirian sejak kecil. Mereka senantiasa membimbing dan mendidik bagaimana berusaha sendiri untuk mendapatkan sesuatu.

Masih teringat saat saya masuk SMP, jarak antara rumah dan sekolah sekitar 1 kilometer, harus saya tempuh dengan jalan kaki setiap hari. Tidak pernah sekalipun aku mengeluh, meskipun teman-temanku terlihat dengan santainya naik angkot. Kadang-kadang saya "nebeng" pada temanku yang naik sepeda.

Bapak memberikan gambaran kepada saya, bagaimana mereka dulu harus berjalan kaki sejauh berpuluh-puluh kilometer untuk mencapai sekolah. Bapak sering bercerita bagaimana kondisi di waktu beliau sekolah, yang kerapkali ke sekolah dengan telanjang kaki tanpa alas kaki, dan dengan pakaian seadanya saja.

Bapak juga mengajari saya bagaimana hidup hemat. Suatu saat karena kasihan, Bapak membelikan saya sebuah sepeda kecil, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan sepeda itu, meskipun hanya sepeda bekas, tetapi sangat berarti bagi saya, karena tidak perlu lagi berjalan kaki bila berangkat ke sekolah. Saat itu sepeda bagi saya merupakan barang berharga yang sanagt mewah.

Bapak pernah bilang,"semua barang yang kita miliki itu adalah benda mati, lama-pendeknya umurnya, tergantung bagaimana kita meramutnya. Nyawanya terletak pada orang yang memilikinya."

"Oleh karena itu, bila kamu ingin berlama-lama memakai sepeda atau barang apa saja, maka ramutlah dengan baik." begitu ucapnya tatkala menyerahkan sepeda mini itu kepada saya.

Setiap hari aku berangkat naik sepeda ke sekolah. Selama dua tahun saya memakai sepeda itu untuk sekolah, terkadang juga dipakai oleh Bapak bila ada keperluannya, saat saya pulang sekolah.

Setelah memiliki sepeda itu, timbul keinginan dalam hati untuk memamfaatkanya untuk mencari uang. Saya merasa, sangat sayang bila memiliki sesuatu, tapi hanya dipakai tanpa menghasilkan keuntungan apa-apa.

Sejak kecil saya telah memiliki keinginan kuat untuk mandiri, berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Terlebih saat mempunyai sepeda, hampir setiap hari sepulang sekolah saya keliling berjualan es lilin dengan sembunyi-sembunyi. Uang itu lalu saya tabung sedikit-sedikit dalam tabung Bambu.
Saya punya rencana untuk mengganti sepeda kecil itu dengan sepeda "MUSTANG" yang pada saat itu sedang populer. Saya punya niat untuk menjual sepeda saya yang lama, lalu kekurangannya saya tambah dari tabungan saya dan sebagian minta sama Bapak.

Sampai akhirnya Bapak membeli sebuah sepeda MUSTANG warna merah, yang semula saya pikir akan dipakainya sendiri, tapi ternyata Bapak membelinya untuk saya. Tidak lama kemudian Bapak membeli lagi sebuah sepeda dengan warna Ungu.

Kedua Sepeda itulah yang kemudian saya pakai bersama Bapak ke soppeng, ketika pada suatu ketika saya pulang berlibur ke Soppeng, saat itu saya baru saja selesai ujian kenaikan kelas 2 STM negeri 2 Makassar. Saat itu, saya merasakan sebuah saat yang indah bersama Bapak, hanya sayang sekali tidak dapat di dokumentasikan lewat foto.

Pagi-pagi Kami telah berangkat meninggalkan Makassar, sekitar pukul 08.00 namun baru tiba di Waepute, rumah nya Indo Bompo saat malam setelah Isya. Perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya sehari itu, terpaksa terlambat, karena sepeda yang saya pakai, rusak di tengah jalan, sehingga tidak bisa dinaiki, saya terpaksa menuntun sepeda sejauh 8 kilometer. Meskipun sepeda Bapak tidak mengalami kerusakan, tetapi Bapak terpaksa ikut menuntun sepedanya. Saya membayangkan, Bapak saat itu termasuk masih kuat, bayangkan naik sepeda sejauh 100 kilometer lebih dilanjutkan dengan menuntun sepeda hampir sepuluh kiloan.

Selama dua malam kami bermalam di Waepute, dan setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kota Soppeng dengan naik sepeda, setelah sepeda saya perbaiki di bantu daeng Sappe. Hanya tiga jam dari Waepute, kami seudah sampai di Soppeng, disamping jaraknya memang dekat juga karena tidak begitu banyak pendakian.

Di Soppeng saya kembali bertemu dengan teman-teman lama saya. Teman-teman sekolah sejak SD dulu. Kami saling bertanya, bagaimana keadaan, bagaimana prestasi masing-masing, dan teman-teman sekolah yang lain. Salah seorang teman sekelas yang juga masih terbilang keponakan, namanya Diana bertanya,"Apakah di Makassar, kamu masih tetap rengking satu seperti dulu?"
Saya jawab,"Waktu di SD sampai SMP, saya tetap rangking pertama, tetapi di STM ini saya hanya mampu duduk di rangking tiga, karena terlalu banyak saingan."
Salah seorang teman saya yang lain, namanya Asri berkata,"Pantas saja si Heri tidak bisa terkalahkan oleh kita-kita waktu sekolah di sini, karena di Kota saja, dia masih rengking."

Memang demikianlah, ketika di Soppeng, saat sekolah di SD Negeri 5 Mattiropole,Soppeng, dari kelas satu sampai saya pindah dari sekolah itu, kelas lima, saya tidak pernah melepaskan rangking pertama. Sampai akhirnya saya pindah ke SD.Neg.Inp.Sudiang,Ujung Pandang mengikuti orang tua, saya masih tetap rangking pertama.
=================

Saturday, April 21, 2007

Fisik

Beberapa orang dari kerabat saya mengatakan, bahwa saya lahir dalam keadaan hampir prematur, berat badan tidak normal dan mengalami keterlambatan dalam pertumbuhan badan. Ditambah lagi dengan keadaan desa yang cukup terpencil dan masih minim dalam hal fasilitas kesehatan dan pelayanan medik.

Bahkan saat saya berumur dua tahun, saya belum dapat berjalan, belum bisa bicara, dengan kondisi tubuh yang sangat lemah.

Hal ini yang membuat Bapak dan Mama, pindah ke kota Kabupaten. Yaitu kota Masewali, Kabupaten Soppeng. Saat itu umur saya baru beberapa bulan. Kami sekeluarga pindah ke kota Kabupaten, dan di sanalah saya di besarkan. Bapak lalu mengurus beberapa surat-surat, termasuk akte kelahiran saya, sehingga dalam akte itu tertulis tempat kelahiran saya, Masewali 21 Juli 1976.

Di kota inilah saya memulai masa kecil. Keluarga kami tidaklah begitu asing di tengah penduduk kota itu, karena tetangga-tetangga yang ada masih merupakan kerabat dekat semua, ada sepupu, kemanakan, paman serta tante.
Sayapun mulai tumbuh secara normal, sempurna tidak kurang sesuatu apapun, sebagaimana anak-anak sebaya lainnya.

Saya tidak berani mengatakan, bahwa kondisi fisik saya ini di pengaruhi oleh minimnya pengetahuan orang tua saya tentang gizi. Karena kedua orang tua saya termasuk orang-orang yang terpelajar.
Keadaan ekonomi keluarga kami pada saat itu memang masih jauh dari cukup guna memenuhi kebutuhan gizi keluarga. Saya menyaksikan kedua orang tua saya memulai segalanya dari nol. Memulai hidup dari bawah, betul-betul segalanya dimulai dari sesuatu yang tidak ada.

Saya dapat merasakan bahwa kasih-sayang dan perhatian orang tua terhadap diri saya cukup besar, hanya saja beberapa hal yang perlu dimaklumi, terutama dalam hal kemampuan ekonomi mereka yang sangat terbatas. Sejak kecil saya sudah sering ditinggal pergi oleh kedua orang tua. Karena tuntutan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan. Kedua orang tua kadang pergi berhari-hari, sampai seminggu untuk berdagang pakaian dan kain.

Pada saat seperti itu, Saya diasuh dan diramut oleh nenek (dari Bapak), namanya IMENRE, akrab saya panggil Indo'. Saya faham betul, bahwa kepergian orang tua adalah untuk mencari uang. Saya sungguh kagum dengan ketabahan dan keuletan mereka dalam menantang hidup.

===========

Saya Lahir

SAYA dilahirkan di sebuah desa kecil di provinsi Sulawesi-Selatan, desa itu bernama Waepute (kalau di Indonesiakan, artinya air yang putih bening ) .

Waepute sebuah desa yang cukup bersahaja bagi saya, penduduknya rukun, tentram dan bahagia. Mata pencaharian kebanyakan penduduk adalah bercocok tanam di sawah dan di kebun. Situasi desa cukup alami, sejuk dengan angin pegunungan. Saat saya dilahirkan di desa itu, belum banyak sarana dan prasarana yang memadai. Belum ada listrik, apalagi pesawat TV atau jaringan telephon. Bahkan infarstruktur jalan raya masih sangat terbatas.

Namun ada hal yang membuat saya betah untuk selalu tinggal dan berkunjung di desa itu, setiap pagi dan sore mandi di pancuran. Persediaan air sangat melimpah, air yang jernih dari pegunungan, sesuai dengan namanya WAEPUTE.
Saya lahir di sebuah rumah mungil hasil buah tangan bapakku. Hari itu Rabu, 21 Juli 1976. Lahir sebagai Anak pertama dari bapakku (KHAERUDDIN) dan ibuku (NASHRANG). Menurut cerita bapak, mulanya saya diberi nama, HERYADI. Namun karena nama Heryadi kurang memiliki makna, maka oleh seorang pemuka agama (NURHASAN) menyarankan agar nama HERYADI diganti dengan KHAIRIL ANAS, yang memiliki makna "Sebaik-baiknya Manusia." Dan nama itu merupakan gabungan dari nama kedua orang tua ku.
Saya bangga menyandang nama itu, apalagi setelah mengetahui maknanya yang begitu bagus dan saya yakin nama merupakan bagian dari pada doa, yang memiliki pengaruh psikologis terhadap diri. Saya pun selalu termotivasi untuk selalu berbuat baik dalam setiap kesempatan dalam hidup saya. Apalagi kedua orang tua selalu menekankan hal tersebut.
Mereka berkata : " Kamu harus bangga memiliki nama yang baik, engkau mesti malu berbuat jelek, sebab akan percuma jika nama kamu bagus, namun sifatmu jelek."

Demikian kata Bapak di suatu sore, saat kami sedang duduk bersama menunggu waktu sholat Isya. Meskipun nama lengkap saya KHAIRIL ANAS, namun saya tetap dipanggil HERY dalam keseharian saya, baik oleh keluarga maupun oleh teman-teman dan orang-orang di sekitar saya. Sebagian dari teman-teman saya yang lain ada yang memanggil Anas, Khoiril, Kori', Heril atau Pak Broto(= waktu di Tarakan/ di Empang).
Namun dimanapun berada saya tetap memperkenalkan diri dengan nama HERY.
===========

Pengantar


Fuji syukur kupanjatkan kehadirat Alloh Swt,
atas segala nikmat yang senantiasa Dia limpahkan kepada diri saya, hamba yang sangat terbatas dari segala hal. Sehingga saya mampu menyusun Tulisan ini. Hasrat untuk menulis, senantiasa ada dan begitu besar keinginan tersebut. Namun waktu dan kesempatan yang sangat terbatas, menyulitkan bagi saya mewujudkan keinginan itu .
Atau bisa jadi saya yang tidak dapat menkoordinir waktu luang yang ada.
Sampai akhirnya pada Selasa, 7 Mei 2002 dengan mengucap lafadz : "BISMILLAHIR ROHMANIR ROHIM" tulisan autobiografi ini, saya mulai dengan tulisan tangan. Lima tahun kemudian / tepatnya Rabu,19 April 2007, tulisan inipun saya pindahkan ke dalam Blogger yang sengaja saya buat di sela-sela waktu kerja saya di Media Fajar Group.

Beberapa hal menjadi pertimbangan dari penulisan Biografi ini, diantaranya:

* Essensi dari penulisan Autobiografi ini bukanlah untuk memuji diri sendiri. Melainkan dalam hal penilaian diri sendiri yang sesungguhnya. Konflik masa lalu, rasa malu, penyesalan dan proses belajar dari kegagalan masa lalu maupun kesalahan orang lain merupakan bagian-bagian dari penulisan Autobiografi ini.

* Penulisan Autobiografi ini, tidak dapat saya titik beratkan pada suatu prestasi besar dan luar biasa, Sebab pada dasarnya saya memang tidak memiliki suatu prestasi besar yang secara radikal mampu mengubah kehidupan saya. Namun barangkali ada hal-hal penting yang perlu saya tulis karena mengandung makna yang cukup mendalam dan berkesan dalam hidup saya.

* Dalam Autobiografi ini, saya juga akan beberkan beberapa hal yang turut mempengaruhi hidup saya, antara lain: latar belakang budaya, keluarga, industri, dan persahabatan, dan pekerjaan serta pendidikan. begitupula Peristiwa dan kejadian-kejadian yang terjadi di sekitar saya.

* Jika saja saya mempunyai waktu yang cukup untuk duduk dan menulis, maka barangkali saya akan berusaha untuk menyusun kembali detail-detail cerita kehidupan saya secara terperinci, atau mungkin saya akan menyusun buku-buku yang berisi tentang ide-ide dan gagasan saya.

Saya adalah orang yang gemar menulis. Menulis apa saja. Dalam hati sering timbul niat untuk berusaha meluangkan waktu, menjauhkan diri dari gangguan kehidupan, hanya untuk menulis. Meskipun hal itu terkadang sulit bagi saya. Apalagi kegiatan menulis dituntut suatu komitmen yang teratur dan terencana.

Dan sayapun memasang standar, Bahwa:
- Setiap duduk, minimal harus ada sesuatu yang saya tulis, satu kalimat cukup. Satu alinea, lebih baik. Satu halaman berarti sebuah prestasi yang sangat baik.
Namun timbul perasaan bahwa masalahnya bukan seberapa banyak yang dapat ditulis dalam sekali duduk. Tetapi yang lebih penting dan lebih bermakna adalah kesabaran dalam menambahkan sesuatu, atau bahkan menambahkan sebuah kata. Mengulangi dan menuliskan kembali dalam cerita sampai selesai.

* Saya melihat bahwa kehidupan ini adalah sebuah kisah unik dan penuh dengan cerita yang menarik. Meskipun hidup saya tidak begitu dapat memberikan arti penting untuk dunia ini, tetapi setidaknya sangat penting bagi saya.

*Kehidupan bagi saya tak ubahnya sebuah sekolah, di dalamnya kita dapat memetik pelajaran setiap hari.

Demikian itulah beberapa hal yang mendasari penulisan Autobiografi ini. Sedapat mungkin saya berusaha untuk menuliskan dan menceritakan kembali kejadian-kejadian yang saya alami dalam hidup saya. Baik kejadian yang telah lewat maupun yang terjadi saat ini, dan mungkin sampai akhir hayat saya nanti.

Saya memanjatkan puji syukur kepada Ilahi Robbi, Salam dan sholawat kepada Nabi besar Muhammad SAW.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga serta hormatku kepada kedua Orang tuaku, Ayahanda tercinta,KHAERUDDIN. Mamaku tersayang, NASHRANG yang telah susah-payah mendidik dan membimbing aku sedari kecil hingga dewasa.
Kepada adik-adikku, NASHRUDDIN, KHAIRURASYIDIN, SYAHRUDDIN yang juga senantiasa memberikan masukan dan sumbangsih pemikirannya dalam berbagai hal.

Ucapan terima kasih juga tidak lupa saya haturkan kepada Teman-teman di Fajar FM serta semua pihak yang turut membantu.

Selanjutnya akan saya mulai urusan tulis-menulis ini dengan cara yang cukup sederhana dan pernyataan-pernyataan yang sederhana pula, terutama mengenai kehidupan yang menyangkut diri pribadi saya.

WASSALAM


HERY

(KHAIRIL ANAS)