Wednesday, May 16, 2007

Masa Kecil


Selama berlibur di Kabupaten Soppeng itu, teringat kembali semua kenangan masa kecil semasa aku belum sekolah. Aku ingat saat pagi hari, saya sering duduk di tangga rumah menyaksikan anak-anak sekolah berbondong-bondong lewat di depan rumah, dengan memakai seragam sekolah. Suara mereka riuh sekali dengan riang mereka kadang-kadang bernyanyi lagu "Bendera Merah Putih", sampai-sampai aku jadi hafal dengan lagu itu.

Tatkala aku melihat mereka, kadang-kadang saya bertanya pada Mama,"Kapan dong saya sekolah seperti mereka ?"
Mama bilang,"Nanti kalau kamu sudah besar."
"Tapi sekarang khan saya sudah besar,Ma."
"Belum," kata Mama "kamu belum bisa sekolah, kalau belum bisa memegang telinga kirimu dengan tangan kanan, lewat di atas kepala. Kalau sudah bisa, baru boleh sekolah."
"Tapi kapan itu,Ma?" tanya ku lagi.
"Yah, tidak lama lagi, sabar saja." kata Mama.

Lalu Mama menjahitkan aku selembar bendera dengan dua warna, "Merah dan putih". kemudian aku diajari menyanyikan lagu "Bendera Merah Putih." Dan dengan cepat aku bisa menghafal lagu itu dengan baik.

Setiap hari aku bermain dengan bendera buatan Mama. Aku ikatkan pada sebatang ranting bambu, lalu aku tancapkan ke tanah dan berdiri tegak di sampin bendera itu sambil menyanyikan lagu Bendera Merah Putih. Selain itu , mama juga mengajari aku lagu yang lain, seperti halo-halo Bandung, Garuda Pancasila, Dari Sabang sampai Merauke. Bapak juga menjari saya lagu Satu Nusa Satu Bangsa, Pelangi-pelangi, dll. Bapak juga mengajari saya berhitung dan membaca, sehingga sebelum aku masuk sekolah dasar, aku sudah bisa menulis, membaca dan berhitung.

Saat itu Bapak tidak lagi mengajar sebagai honorer di madrasah, tetapi dia hanya memusatkan pikiran pada kegiatan berdagangnya, sambil menunggu terbitnya SK pengangkatannya sebagai guru. Bila dulu, Mama sering ikut menemani Bapak berdagang, saat itu saya melihat Bapak sering berangkat sendiri. Mama lebih memiliki banyak waktu bersama saya di rumah.

Sunday, May 13, 2007

Emosi

Seperti saya katakan pada tulisanku yang lalu, bahwa orang tua begitu sayang kepadaku, perhatian mereka teramat besar kepada saya, bahkan terkesan memanjakan.Meskipun demikian saya tidak pernah manja. Saya menyadari keadaan ekonomi keluarga saya. Kedua orang tua saya memulai usaha dagangnya bukan dengan modal uang, tetapi hanya bermodalkan kejujuran. Bapak menjualkan barang-barang pemilik toko, setelah barang-barang tersebut laku, barulah kemudian dihitung dan diadakan pembagian keuntungan.

Begitulah orang tua saya memulai hidupnya, tidak jarang saya melihat Bapak mengajar secara honorer di sekolah-sekolah, baik swasta maupun sekolah negeri.
Saya sering dibawa serta ke sekolah tempatnya mengajar. Saat itu umur saya baru sekitar 3 tahun. Oleh Bapak, saya diajak ke salah satu madrasah di Salotungo,tempat Bapak mengajar, sebagaimana biasa murid-murid Bapak yang "cewe" bergantian dan berebutan mengajak saya main kesana-kemari. Ada yang membelikan permen, es lilin, dan macam-macam jajanan sekolah. Padahal Bapak sangat melarang saya memakan jajanan, apalagi saya sangat mudah sakit.
Namun karena diberi, akhirnya saya memakan es lilin pemberian mereka, tentunya dengan sembunyi-sembunyi. Ketika tiba-tiba Bapak melihat saya, es itupun lalu saya buang. Anak-anak murid Bapak kaget, mereka menyangka kalau es itu ada apa-apanya. Mereka memang tidak tahu kalau Bapak melarang saya meminum es dan memakan permen. Waktu itu saya seorang anak yang benar-benar patuh pada orang tua dan takut sekali bila melihat orang tua saya marah.
Mereka berdua adalah segalanya buat saya, tumpuan hidup saya, dan idola serta figur yang saya kagumi.

Bapak tidak henti-hentinya berusaha, tak kenal lelah dan putus asa, dia selalu memiliki optimisme dan semangat, itu pulalah yang membuat saya untuk selalu bersikap optimis dalam menjalani hidup.

Lambat laun kehidupan ekonomi keluarga saya mengalami perkembangan, Bapak lalu mambuka stand di pasar-pasar, meskipun masih sering berdagang keliling.
Kadang-kadang pula saya melihat Bapak berangkat ke Ujung-Pandang (Makassar) untuk mengurus sesuatu urusan yang saat itu, aku belum tahu urusan apa. Bapak tidak henti-hentinya berusaha, tak kenal lelah dan putus asa, dia selalu memiliki optimisme dan semangat, itu pulalah yang membuat saya untuk selalu bersikap optimis dalam menjalani hidup. Dengan usaha Bapak yang tak kenal lelah itulah akhirnya Bapak berhasil terangkat menjadi guru (pegawai negeri) dan tinggal menetap di ibukota provinsi sulawesi-selatan, Makassar.

Bapak sering bercerita pada saya, Kesuksesan dicapai dengan kesulitan-kesulitan, dan tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. Begitu juga kesuksesan yang dicapai oleh Bapak tidak lepas daripada perjuangan, pengorbanan dan kesulitan-kesulitan.

Saya sangat bersyukur memiliki orang tua seperti Bapak dan Mama, mereka selalu mengajarkan kemandirian sejak kecil. Mereka senantiasa membimbing dan mendidik bagaimana berusaha sendiri untuk mendapatkan sesuatu.

Masih teringat saat saya masuk SMP, jarak antara rumah dan sekolah sekitar 1 kilometer, harus saya tempuh dengan jalan kaki setiap hari. Tidak pernah sekalipun aku mengeluh, meskipun teman-temanku terlihat dengan santainya naik angkot. Kadang-kadang saya "nebeng" pada temanku yang naik sepeda.

Bapak memberikan gambaran kepada saya, bagaimana mereka dulu harus berjalan kaki sejauh berpuluh-puluh kilometer untuk mencapai sekolah. Bapak sering bercerita bagaimana kondisi di waktu beliau sekolah, yang kerapkali ke sekolah dengan telanjang kaki tanpa alas kaki, dan dengan pakaian seadanya saja.

Bapak juga mengajari saya bagaimana hidup hemat. Suatu saat karena kasihan, Bapak membelikan saya sebuah sepeda kecil, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan sepeda itu, meskipun hanya sepeda bekas, tetapi sangat berarti bagi saya, karena tidak perlu lagi berjalan kaki bila berangkat ke sekolah. Saat itu sepeda bagi saya merupakan barang berharga yang sanagt mewah.

Bapak pernah bilang,"semua barang yang kita miliki itu adalah benda mati, lama-pendeknya umurnya, tergantung bagaimana kita meramutnya. Nyawanya terletak pada orang yang memilikinya."

"Oleh karena itu, bila kamu ingin berlama-lama memakai sepeda atau barang apa saja, maka ramutlah dengan baik." begitu ucapnya tatkala menyerahkan sepeda mini itu kepada saya.

Setiap hari aku berangkat naik sepeda ke sekolah. Selama dua tahun saya memakai sepeda itu untuk sekolah, terkadang juga dipakai oleh Bapak bila ada keperluannya, saat saya pulang sekolah.

Setelah memiliki sepeda itu, timbul keinginan dalam hati untuk memamfaatkanya untuk mencari uang. Saya merasa, sangat sayang bila memiliki sesuatu, tapi hanya dipakai tanpa menghasilkan keuntungan apa-apa.

Sejak kecil saya telah memiliki keinginan kuat untuk mandiri, berusaha untuk memenuhi kebutuhan sendiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Terlebih saat mempunyai sepeda, hampir setiap hari sepulang sekolah saya keliling berjualan es lilin dengan sembunyi-sembunyi. Uang itu lalu saya tabung sedikit-sedikit dalam tabung Bambu.
Saya punya rencana untuk mengganti sepeda kecil itu dengan sepeda "MUSTANG" yang pada saat itu sedang populer. Saya punya niat untuk menjual sepeda saya yang lama, lalu kekurangannya saya tambah dari tabungan saya dan sebagian minta sama Bapak.

Sampai akhirnya Bapak membeli sebuah sepeda MUSTANG warna merah, yang semula saya pikir akan dipakainya sendiri, tapi ternyata Bapak membelinya untuk saya. Tidak lama kemudian Bapak membeli lagi sebuah sepeda dengan warna Ungu.

Kedua Sepeda itulah yang kemudian saya pakai bersama Bapak ke soppeng, ketika pada suatu ketika saya pulang berlibur ke Soppeng, saat itu saya baru saja selesai ujian kenaikan kelas 2 STM negeri 2 Makassar. Saat itu, saya merasakan sebuah saat yang indah bersama Bapak, hanya sayang sekali tidak dapat di dokumentasikan lewat foto.

Pagi-pagi Kami telah berangkat meninggalkan Makassar, sekitar pukul 08.00 namun baru tiba di Waepute, rumah nya Indo Bompo saat malam setelah Isya. Perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya sehari itu, terpaksa terlambat, karena sepeda yang saya pakai, rusak di tengah jalan, sehingga tidak bisa dinaiki, saya terpaksa menuntun sepeda sejauh 8 kilometer. Meskipun sepeda Bapak tidak mengalami kerusakan, tetapi Bapak terpaksa ikut menuntun sepedanya. Saya membayangkan, Bapak saat itu termasuk masih kuat, bayangkan naik sepeda sejauh 100 kilometer lebih dilanjutkan dengan menuntun sepeda hampir sepuluh kiloan.

Selama dua malam kami bermalam di Waepute, dan setelah itu kami kembali melanjutkan perjalanan ke Kota Soppeng dengan naik sepeda, setelah sepeda saya perbaiki di bantu daeng Sappe. Hanya tiga jam dari Waepute, kami seudah sampai di Soppeng, disamping jaraknya memang dekat juga karena tidak begitu banyak pendakian.

Di Soppeng saya kembali bertemu dengan teman-teman lama saya. Teman-teman sekolah sejak SD dulu. Kami saling bertanya, bagaimana keadaan, bagaimana prestasi masing-masing, dan teman-teman sekolah yang lain. Salah seorang teman sekelas yang juga masih terbilang keponakan, namanya Diana bertanya,"Apakah di Makassar, kamu masih tetap rengking satu seperti dulu?"
Saya jawab,"Waktu di SD sampai SMP, saya tetap rangking pertama, tetapi di STM ini saya hanya mampu duduk di rangking tiga, karena terlalu banyak saingan."
Salah seorang teman saya yang lain, namanya Asri berkata,"Pantas saja si Heri tidak bisa terkalahkan oleh kita-kita waktu sekolah di sini, karena di Kota saja, dia masih rengking."

Memang demikianlah, ketika di Soppeng, saat sekolah di SD Negeri 5 Mattiropole,Soppeng, dari kelas satu sampai saya pindah dari sekolah itu, kelas lima, saya tidak pernah melepaskan rangking pertama. Sampai akhirnya saya pindah ke SD.Neg.Inp.Sudiang,Ujung Pandang mengikuti orang tua, saya masih tetap rangking pertama.
=================