Wednesday, July 27, 2011

Gara-Gara Tidak Beli Buku Paket, Tidak Diikutkan Ulangan

Inilah coretan terakhir yang berhasil terekam ulang dari buku "Sekedar Sketsa Saja" ke dalam blogg ini, sebelum buku  catatan harian tersebut hilang. Coretan yang menceritakan perpindahan Hery kecil sekeluarga dari Kabupaten Soppeng ke Makassar pada tahun 1988.
Hery adalah nama kecil saya, ketika itu berumur 11 tahun, dan baru naik kelas VI Sekolah Dasar harus berpindah sekolah dan menamatkan sekolah dasar di kota Makassar, tepatnya di SD.Neg.Inp.Sudiang, tempat bapak mengajar.

Melanjutkan masa-masa bermain di ibu kota Provinsi ini, ada sebuah kesyukuran yang terselip dalam diri, bahwa meskipun berpindah sekolah dari kampung ke kota besar, prestasi belajar tidak mengalami penurunan. Bahkan tetap memegang juara kelas seperti halnya di SDN. 5 Mattiropole, kabupaten Soppeng dulu.

Sampai memasuki Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), tepatnya di SMP.Negeri 16-Makassar. Prestasi belajar tetap bagus, meskipun fluktuatif, di kelas 1 sempat menduduki peringkat ke-3, lalu di kelas dua peringkat 12, naik kelas tiga kembali menduduki peringkat 3, bahkan di akhir tahun ajaran di SMP itu, Hery sempat dibayang-bayangi ketidaklulusan, kala itu tingkat kelulusan di SMP.Negeri 16, tahun 1993 hanya 50 persen. Namun syukurlah bayangan buruk itu tidak sampai menjadi kenyataan.

Ada beberapa factor yang menyebabkan pasang-surut nilai di SMP ini, pertama sebagai orang pendatang dari kampung, yang mengalami sedikit kesulitan bersaing dengan siswa-siswa yang berada di kota, perlu waktu lama untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Kedua, factor ekonomi keluarga, mengakibatkan Hery kecil kadang tidak mampu membeli buku paket yang disediakan dan diwajibkan oleh guru, terkadang menimbulkan sentiment pribadi dari guru bersangkutan.
Sentiment yang kemudian memunculkan kerenggangan hubungan (=kebencian) antara Hery kecil dengan guru di SMP, yang tidak tanggung-tanggung mempengaruhi pemberian nilai raport.

Berbeda dengan kondisi di sekolah dasar dulu, ketika guru tidak pernah mewajibkan murid-murid untuk membeli buku paket yang disiapkan guru. Bahkan seorang guru di SD.Negeri 5 Mattiropole,kab.Soppeng, yang masih teringat betul nama dan wajahnya, ibu Hamiah mengagumi dan menyayangi Hery kecil yang rajin membuat catatan-catatan kecil setiap beliau dan guru menerangkan di depan kelas.

Semua penjelasan ibu Guru tercatat, sehingga setelah ibu Hamiah menerangkan satu materi pelajaran, lalu melemparkan pertanyaan kepada seluruh murid, maka hanya Hery kecil yang mampu menjawab, karena semua telah tercatat dalam buku khusus. Suatu waktu ibu Hamiah mengacungkan jempol kepada Hery kecil sambil berkata kepada semua murid.
“Kalian semua, ambil contoh cara belajarnya kawanmu ini….!”

Saya ingat betul situasi itu. Sebuah situasi yang membuat gairah belajar makin meningkat. Saya membuat catatan bukan untuk mendapatkan nilai atau jempol dari ibu guru, tetapi semata-mata bermaksud agar memudahkan dalam memahami semua pelajaran yang disampaikan oleh guru, sebab setelah sampai di rumah, catatan-catatan tersebut dapat dibaca ulang kembali, sambil membayangkan bagaimana ekspresi guru saat menjelaskan pelajaran itu tadi siang di depan kelas. Dengan cara belajar seperti ini pemahaman tentang pelajaran makin tertanam kuat dalam memory.

Berbeda sekali ketika guru-guru di SMP yang mewajibkan siswa untuk membeli buku, dan bagi yang tidak membeli diancam akan dikurangi nilai atau bahkan tidak mendapat nilai, betatapun pandainya dia.

Saya masih ingat ketika seorang guru sejarah di SMP.Negeri 16-Makassar, namanya masih saya ingat namun akan saya tulis di akhir tulisan nanti.

Sambil membawa setumpuk buku cetak, ibu guru itu masuk ke dalam kelas, lalu membagi-bagikan kepada semua siswa kelas dua, saya juga mendapat satu buku. Lalu ibu guru ini meminta semua murid membayar dengan segera. Harganya ketika itu Rp 25.000, sebuah nilai yang terbilang besar di tahun 1994. Dan karena orang tua tidak memiliki uang, penulis pun terpaksa mengembalikan buku tersebut kepada ibu Guru.

Malang nasib, ketika itu ibu guru sejarah ini langsung marah dan mengancam tidak akan mengikutkan Hery kecil dalam ujian harian. Seakan ingin membuktikan ancaman itu, ulangan harianpun dipercepat, semua siswa telah hadir tepat waktu pada hari yang ditentukan, termasuk Hery kecil yang sudah bersiap-siap dari jauh-jauh hari belajar telah hadir di kelas. Namun ternyata ibu Rupiati benar-benar membuktikan ancamannya. Hery kecil tidak diikutkan dalam ujian meskipun Hery kecil hadir di dalam kelas. Kertas ulangan telah dibagikan, semua siswa telah mendapatkan lembaran soalnya masing-masing, kecuali Hery kecil. Sampai ulangan itu selesai Hery kecil tetap duduk diam di bangkunya, sesekali menundukkan wajah menelungkup di meja menyembunyikan tetes air mata kecewa yang sangat dalam.

Meskipun menangis dan sakit hati, tetapi Hery kecil tetap duduk menunggu, berharap ada rasa iba di hati ibu guru. dan mengikutkan saya dalam ujian. Namun sampai ujian tersebut selesai, sampai semua siswa mengumpulkan lembaran jawabannya, Hery kecil tetap tidak diberi lembaran ulangan. Hery pulang ke rumah dengan hati yang sangat sedih. Sedih karena tidak ikut ujian, hanya karena tidak membeli buku yang diwajibkan dan jual oleh ibu guru.
Beginilah nasib siswa, ketika Guru yang seharusnya bertugas sebagai pengajar, mendidik untuk mencerdaskan siswa, berganti tugas menjadi pedagang buku, berharap komisi penjualan dari penerbit buku.

---------

No comments: